Yang lain lagi menjalankan ritual keagamaan karena kewajiban dan bahkan mungkin tidak sadar bahwa kewajiban itu membuatnya “buta” akan hal yang benar. Film “PK” secara implisit mau mengatakan bahwa Tuhan tidak perlu dibela, tetapi kemanusiaanlah yang perlu dibela. Pesan ini amat sangat relevan dengan situasi beragama baik secara lokal maupun world.
Tak heran, salah satu konflik yang paling banyak terjadi adalah soal agama. Bahkan dalam salah satu dialognya, bos Jaggu berkata bahwa ” Sejak itu aku putuskan, jika aku ingin hidup di negeri ini, maka PK jangan main2dengan agama. Itu saja”. Kalimat itu tentu saja merupakan representasi dari keadaan India yang sesungguhnya tentang bagaimana persoalan agama seringkali menjadi alasan untuk bertikai.
Selain sebagai ritual rutin, ada juga ritual di mana umat Hindu di India menuangkan susu dalam jumlah yang sangat banyak pada patung Dewa Siwa berukuran raksasa. Di luar ritual rutin yang aneh dan menyiksa diri, sering juga terjadi insiden dalam ritual agama yang bahkan menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Misalnya pada tahun 2006 terjadi insiden Mina yang menewaskan 362 orang jamaah haji, sedang tahun 2008 terjadi insiden Kuil Jodhpur yang menewaskan 224 orang, semua korban akibat kedua insiden tersebut meninggal karena terinjak-injak. Tentu saja masalahnya bukan hanya tentang kurang siapnya penyelenggara ritual keagamaan ini, tapi juga karena masyarakat yang terlalu bernafsu untuk melaksanakan ritual tanpa memikirkan keselamatan orang lain dan dirinya sendiri.
Jika tuhan memang berbeda untuk tiap orang, jika tuhan ingin menunjukkan religiutitas seseorang pada manusia lain, maka mestinya tuhan memberikan tanda khas yang permanen di tubuh manusia sejak manusia itu lahir. Maka movie PK sebenarnya ingin menyampaikan bahwa semua tafsir terhadap agama yang dilakukan oleh para tokoh agama itu sifatnya manusiawi, yang bisa salah alias salah sambung, atau bisa juga sengaja dimanfaatkan oleh oknum demi memuaskan nafsunya sendiri.
Di titik inilah film PK memiliki pesan yang bunyinya sama dengan tokoh-tokoh plurarisme di Indonesia. PK ini adalah nama makhluk asing atau alien mendarat di bumi dengan maksud melakukan penelitian. Tapi salah satu orang merampok satu-satunya yang dia miliki yatu Remote Control untuk berkomunikasi dengan saudaranya di planet lain.
Maka tidak mengherankan jika permasalahan kasta, diskriminasi perempuan, atau perbudakan masih terjadi secara masif dan dilakukan secara terbuka di negara yang penduduknya masih fanatik pada agama oleh karena norma yang ada di masyarakat sulit untuk dihapuskan. Sebelumnya diceritakan, Reporter dan Sutradara dalam filim ini juga pernah mempunyai konflik dengan pemuka agama –mempunyai pengikut yang sangat banyak–yang membawa distant PK.
Dalam dunia nyata tentu manajer palsu itu ada, dan mereka ingin menggunakan trik yang sama untuk memperalat manusia. Tidak semua orang takut dosen, tidak semua orang takut binatang buas, bahkan ada orang yang tidak takut mati. Nah, karena tiap orang mengalami masalah dan ketakutan nyata yang berbeda, maka dimanfaatkanlah ketakutan yang sifatnya lebih common yaitu neraka. Secara ekstrim, movie PK bahkan mengajak kita untuk bertanya apakah benar pendiri agama yang kita kenal selama ini memang mendapat wahyu dari tuhan atau tidak. Dalam perjalanan mencari distant control, Sang Alien mempelajari banyak hal tentang kehidupan di bumi.
Memang tidak semua muslim meyakini ayat dan hadits tersebut sebagai ajaran kebencian dan peperangan. Khusus untuk Yahudi , bahkan dikatakan bahwa dunia tidak akan kiamat hingga semua muslim membunuh Yahudi. Kesetaraan gender masih menjadi masalah di India dan sebagian negara muslim. Beda dengan Hindu, dalam Islam penggolongan masyarakat bukan berdasarkan keturunan, melainkan berdasarkan agama.
Akhirnya perempuan tersebut percaya dan tertarik untuk membantu PK dalam menemukan remote control. Film pk bercerita tentang seorang alien memiliki tubuh yang sangat persis dengan manusia turun ke bumi. Jaggu mendorong ribuan orang untuk mengirimkan video dari pengalaman mereka sendiri dengan kepala agama, menyebut mereka sebagai “panggilan ke nomor yang salah”.
Saat Sudah Berusia 60 Tahun, Cukupkah Hanya Andalkan Bpjs Kesehatan?
Mirisnya, tindakan penghakiman itu seringkali dilakukan dengan aksi kekerasan. Mengaku menegakkan hukum tuhan tapi dengan merusak fasilitas umum, mengaku meluruskan orang sesat tapi dengan cara membunuh, membela agama yang dilecehkan dengan terorisme. Hal yang sama juga terjadi pada kasus hukuman mati, di mana ketika banyak negara mulai meninggalkan hukuman mati dengan alasan kemanusiaan dan tidak terbukti efektif, praktek hukuman mati justru banyak dibela dengan alasan agama. Parahnya, praktek hukuman mati yang katanya berdasarkan agama itu sangat lah sadis, hukuman rajam misalnya di mana eksekusinya tidak hanya dilakukan di ruang publik, tapi publik sendiri ikut menjadi eksekutornya. Bayangkan bagaimana psychological orang-orang yang ikut menjadi penonton dan eksekutor itu.